Provinsi Jakarta

Provinsi Jakarta

Provinsi Jakarta

Peneliti

Syafiq Syaikhul Akbar & Muhammad Akhtar Jabbaran

Editor

Dewi Nurita

Untuk warga Provinsi Jakarta, kamu hanya akan memilih gubernur saja, tidak ada pemilihan wali kota.

Untuk warga Provinsi Jakarta, kamu hanya akan memilih gubernur saja, tidak ada pemilihan wali kota.

Calon Pasangan Kandidat

(3)

:

no.1

Ridwan Kamil & Suswono

Ridwan Kamil & Suswono

Koalisi Kim Plus

Koalisi Kim Plus

no.2

Dharma Pongrekun & Kun Wardana

Dharma Pongrekun & Kun Wardana

KOALISI PARTAI

Calon Independen

Calon Independen

no.3

Pramono Anung & Rano Karno

Pramono Anung & Rano Karno

KOALISI PARTAI

Koalisi PDIP

Koalisi PDIP

Profil daerah

PERMASALAHAN DAERAH

BACA LAINNYA

🗺️ Profil Daerah

🗺️ Profil Daerah

Tentang Daerah

Sebagai mantan ibu kota negara, Jakarta tetap menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Meskipun statusnya telah berubah, kota ini masih dipenuhi gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan kehidupan kota yang dinamis, mencerminkan perannya yang vital dalam perekonomian nasional.

Jumlah Penduduk

± 11 Juta

Luas

662,33 km²

Kabupaten

1

Kota

5

ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)

6.03 %

-1.54

UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)

Rp 5,06 Juta

Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)

± Rp 3.443 Triliun

SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)

Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

Rp 608 Triliun

Industri Pengolahan/Manufaktur

Rp 409 Triliun

Jasa Keuangan dan Asuransi

Rp 382 Triliun

Tentang Daerah

Sebagai mantan ibu kota negara, Jakarta tetap menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Meskipun statusnya telah berubah, kota ini masih dipenuhi gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan kehidupan kota yang dinamis, mencerminkan perannya yang vital dalam perekonomian nasional.

Jumlah Penduduk

± 11 Juta

Luas

662,33 km²

Kabupaten

1

Kota

5

ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)

6.03 %

-1.54

UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)

Rp 5,06 Juta

Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)

± Rp 3.443 Triliun

SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)

Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

Rp 608 Triliun

Industri Pengolahan/Manufaktur

Rp 409 Triliun

Jasa Keuangan dan Asuransi

Rp 382 Triliun

Tentang Daerah

Sebagai mantan ibu kota negara, Jakarta tetap menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Meskipun statusnya telah berubah, kota ini masih dipenuhi gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan kehidupan kota yang dinamis, mencerminkan perannya yang vital dalam perekonomian nasional.

Jumlah Penduduk

± 11 Juta

Luas

662,33 km²

Kabupaten

1

Kota

5

ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)

6.03 %

-1.54

UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)

Rp 5,06 Juta

Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)

± Rp 3.443 Triliun

SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)

Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

Rp 608 Triliun

Industri Pengolahan/Manufaktur

Rp 409 Triliun

Jasa Keuangan dan Asuransi

Rp 382 Triliun

Keuangan Daerah

Keuangan Daerah

Keuangan Daerah

⚠️ Isu Sorotan Daerah

⚠️ Isu Sorotan Daerah

Hunian Layak dan Terjangkau

Ekonomi dan kesejahteraan

Krisis Hunian Layak dan Terjangkau

Apakah mungkin milenial dan Gen Z bisa punya rumah di Jakarta? Pertanyaan ini agaknya rumit dijawab. Penyebabnya adalah, saat ini harga tanah di Jakarta sudah sangat tinggi, mencapai Rp12,4 juta per meter persegi. Bayangkan, dengan UMR DKI Jakarta sebesar kurang lebih Rp5 juta, dibutuhkan waktu setidaknya 10 tahun menabung untuk membeli rumah sederhana seluas 50 meter persegi. Eits, itu pun dengan catatan, semua gaji harus ditabung, tanpa pengeluaran apapun. Plus, peningkatan harga setiap tahun yang juga mesti diperhitungkan. Kalau kenyataannya begini, kira-kira umur berapa ya milenial dan Gen Z baru bisa punya rumah di Jakarta?


Permasalahan hunian ini tentunya bukan hanya dialami para milenial dan Gen Z saja, akses terhadap hunian layak dan terjangkau di DKI Jakarta masih menjadi tantangan besar bagi mayoritas warga ibukota. 


Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2023 menunjukkan hanya 38,80% rumah tangga yang memiliki akses ke hunian layak. Kondisi ini menjadikan Jakarta sebagai salah satu wilayah dengan akses hunian terendah di Indonesia. Padahal, Jakarta adalah pusat ekonomi dan pemerintahan.


Dengan populasi penduduk lebih dari 10 juta jiwa, tingkat kepemilikan rumah di ibukota masih tergolong rendah, yakni hanya 56,57% warga yang memiliki tempat tinggal sendiri. Kepadatan penduduk membuat sekitar 2 juta rumah tangga terpaksa menetap di lingkungan yang tidak layak huni. Angka ini tersebar di 181 kelurahan dari total 261 kelurahan di Jakarta.

Hunian Layak dan Terjangkau

Ekonomi dan kesejahteraan

Krisis Hunian Layak dan Terjangkau

Apakah mungkin milenial dan Gen Z bisa punya rumah di Jakarta? Pertanyaan ini agaknya rumit dijawab. Penyebabnya adalah, saat ini harga tanah di Jakarta sudah sangat tinggi, mencapai Rp12,4 juta per meter persegi. Bayangkan, dengan UMR DKI Jakarta sebesar kurang lebih Rp5 juta, dibutuhkan waktu setidaknya 10 tahun menabung untuk membeli rumah sederhana seluas 50 meter persegi. Eits, itu pun dengan catatan, semua gaji harus ditabung, tanpa pengeluaran apapun. Plus, peningkatan harga setiap tahun yang juga mesti diperhitungkan. Kalau kenyataannya begini, kira-kira umur berapa ya milenial dan Gen Z baru bisa punya rumah di Jakarta?


Permasalahan hunian ini tentunya bukan hanya dialami para milenial dan Gen Z saja, akses terhadap hunian layak dan terjangkau di DKI Jakarta masih menjadi tantangan besar bagi mayoritas warga ibukota. 


Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2023 menunjukkan hanya 38,80% rumah tangga yang memiliki akses ke hunian layak. Kondisi ini menjadikan Jakarta sebagai salah satu wilayah dengan akses hunian terendah di Indonesia. Padahal, Jakarta adalah pusat ekonomi dan pemerintahan.


Dengan populasi penduduk lebih dari 10 juta jiwa, tingkat kepemilikan rumah di ibukota masih tergolong rendah, yakni hanya 56,57% warga yang memiliki tempat tinggal sendiri. Kepadatan penduduk membuat sekitar 2 juta rumah tangga terpaksa menetap di lingkungan yang tidak layak huni. Angka ini tersebar di 181 kelurahan dari total 261 kelurahan di Jakarta.

Hunian Layak dan Terjangkau

Ekonomi dan kesejahteraan

Krisis Hunian Layak dan Terjangkau

Apakah mungkin milenial dan Gen Z bisa punya rumah di Jakarta? Pertanyaan ini agaknya rumit dijawab. Penyebabnya adalah, saat ini harga tanah di Jakarta sudah sangat tinggi, mencapai Rp12,4 juta per meter persegi. Bayangkan, dengan UMR DKI Jakarta sebesar kurang lebih Rp5 juta, dibutuhkan waktu setidaknya 10 tahun menabung untuk membeli rumah sederhana seluas 50 meter persegi. Eits, itu pun dengan catatan, semua gaji harus ditabung, tanpa pengeluaran apapun. Plus, peningkatan harga setiap tahun yang juga mesti diperhitungkan. Kalau kenyataannya begini, kira-kira umur berapa ya milenial dan Gen Z baru bisa punya rumah di Jakarta?


Permasalahan hunian ini tentunya bukan hanya dialami para milenial dan Gen Z saja, akses terhadap hunian layak dan terjangkau di DKI Jakarta masih menjadi tantangan besar bagi mayoritas warga ibukota. 


Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2023 menunjukkan hanya 38,80% rumah tangga yang memiliki akses ke hunian layak. Kondisi ini menjadikan Jakarta sebagai salah satu wilayah dengan akses hunian terendah di Indonesia. Padahal, Jakarta adalah pusat ekonomi dan pemerintahan.


Dengan populasi penduduk lebih dari 10 juta jiwa, tingkat kepemilikan rumah di ibukota masih tergolong rendah, yakni hanya 56,57% warga yang memiliki tempat tinggal sendiri. Kepadatan penduduk membuat sekitar 2 juta rumah tangga terpaksa menetap di lingkungan yang tidak layak huni. Angka ini tersebar di 181 kelurahan dari total 261 kelurahan di Jakarta.

Ancaman Pengangguran

Ekonomi dan kesejahteraan

Ancaman Pengangguran di Era Kota Global

Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi awal transformasi DKI Jakarta menjadi kota global serupa New York dan Melbourne. Apakah ini merupakan kabar baik? Ya, di satu sisi, perubahan ini dinilai bisa mendorong perekonomian, namun di lain sisi juga berpotensi membawa ancaman baru berupa peningkatan angka pengangguran warga Jakarta. Mengapa bisa demikian?


Masuknya investasi asing dan bisnis multinasional tentu akan membuat persaingan pasar tenaga kerja semakin ketat. Jika warga tidak mampu bersaing dan pemerintah daerah tidak membekali masyarakat dengan keterampilan yang memadai, maka warga daerah asli bisa-bisa hanya jadi penonton yang gigit jari saja.


Pada 2023, 50,8% dari total 10,67 juta penduduk Jakarta berada di angkatan kerja. Namun, tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,53% atau setara dengan 328.000 orang. Jangan sampai angka ini makin naik saat Jakarta sudah jadi kota global lho ya.


Pemerintah Provinsi Jakarta mesti segera membangun jaring pengaman sosial dan jaminan kerja bagi seluruh warga Jakarta, khususnya dengan meningkatkan kompetensi kerja warga Jakarta. 

Ancaman Pengangguran

Ancaman Pengangguran

Ekonomi dan kesejahteraan

Ancaman Pengangguran di Era Kota Global

Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi awal transformasi DKI Jakarta menjadi kota global serupa New York dan Melbourne. Apakah ini merupakan kabar baik? Ya, di satu sisi, perubahan ini dinilai bisa mendorong perekonomian, namun di lain sisi juga berpotensi membawa ancaman baru berupa peningkatan angka pengangguran warga Jakarta. Mengapa bisa demikian?


Masuknya investasi asing dan bisnis multinasional tentu akan membuat persaingan pasar tenaga kerja semakin ketat. Jika warga tidak mampu bersaing dan pemerintah daerah tidak membekali masyarakat dengan keterampilan yang memadai, maka warga daerah asli bisa-bisa hanya jadi penonton yang gigit jari saja.


Pada 2023, 50,8% dari total 10,67 juta penduduk Jakarta berada di angkatan kerja. Namun, tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,53% atau setara dengan 328.000 orang. Jangan sampai angka ini makin naik saat Jakarta sudah jadi kota global lho ya.


Pemerintah Provinsi Jakarta mesti segera membangun jaring pengaman sosial dan jaminan kerja bagi seluruh warga Jakarta, khususnya dengan meningkatkan kompetensi kerja warga Jakarta. 

Akses Pendidikan

Pendidikan dan kesehatan

Ketidaksetaraan Akses Pendidikan

Siapa sangka, dibalik menterengnya nama-nama sekolah negeri di Jakarta, jumlah anak yang putus sekolah di ibukota ternyata masih tinggi. Pada 2022, angkanya sempat mencapai lebih dari 75 ribu orang dan menjadikan Jakarta sebagai provinsi dengan angka putus sekolah tertinggi di Indonesia. Baru belakangan, angka itu menurun


Program seperti Kartu Jakarta Pintar atau KJP Plus, dengan alokasi anggaran hingga triliunan selama ini menjadi andalan pemerintah kota. Namun, apakah program-program itu sudah cukup untuk mengatasi masalah pendidikan di ibukota?


Ketidaksetaraan akses pendidikan jenjang menengah di Jakarta nyatanya masih terjadi. Sistem zonasi penerimaan peserta didik baru atau PPDB DKI Jakarta belum efektif akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Dari 267 kelurahan di DKI Jakarta, ada  86 kelurahan tidak memiliki SMP dan 168 kelurahan tidak memiliki SMA. Alhasil, banyak warga yang terpaksa harus menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta dengan biaya yang tidak sedikit. 


Ketidaksetaraan akses pendidikan di Jakarta juga dapat dilihat dari temuan Smart City UI  yang menunjukkan bahwa wilayah kumuh di Jakarta memiliki akses sekolah yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan wilayah hunian layak. Di Jakarta Utara misalnya, 37% wilayah kumuh jauh dari sekolah.


Akses ke pendidikan tinggi pun semakin sulit, terlebih setelah adanya pemangkasan anggaran kartu Jakarta Mahasiswa Unggul atau KJMU dari Rp360 miliar menjadi Rp180 miliar pada 2024. Pemangkasan ini mengakibatkan 771 penerima KJMU dievaluasi ulang dan dinyatakan tidak layak menerima bantuan, menambah beban bagi warga Jakarta yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Akses Pendidikan

Akses Pendidikan

Pendidikan dan kesehatan

Ketidaksetaraan Akses Pendidikan

Siapa sangka, dibalik menterengnya nama-nama sekolah negeri di Jakarta, jumlah anak yang putus sekolah di ibukota ternyata masih tinggi. Pada 2022, angkanya sempat mencapai lebih dari 75 ribu orang dan menjadikan Jakarta sebagai provinsi dengan angka putus sekolah tertinggi di Indonesia. Baru belakangan, angka itu menurun


Program seperti Kartu Jakarta Pintar atau KJP Plus, dengan alokasi anggaran hingga triliunan selama ini menjadi andalan pemerintah kota. Namun, apakah program-program itu sudah cukup untuk mengatasi masalah pendidikan di ibukota?


Ketidaksetaraan akses pendidikan jenjang menengah di Jakarta nyatanya masih terjadi. Sistem zonasi penerimaan peserta didik baru atau PPDB DKI Jakarta belum efektif akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Dari 267 kelurahan di DKI Jakarta, ada  86 kelurahan tidak memiliki SMP dan 168 kelurahan tidak memiliki SMA. Alhasil, banyak warga yang terpaksa harus menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta dengan biaya yang tidak sedikit. 


Ketidaksetaraan akses pendidikan di Jakarta juga dapat dilihat dari temuan Smart City UI  yang menunjukkan bahwa wilayah kumuh di Jakarta memiliki akses sekolah yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan wilayah hunian layak. Di Jakarta Utara misalnya, 37% wilayah kumuh jauh dari sekolah.


Akses ke pendidikan tinggi pun semakin sulit, terlebih setelah adanya pemangkasan anggaran kartu Jakarta Mahasiswa Unggul atau KJMU dari Rp360 miliar menjadi Rp180 miliar pada 2024. Pemangkasan ini mengakibatkan 771 penerima KJMU dievaluasi ulang dan dinyatakan tidak layak menerima bantuan, menambah beban bagi warga Jakarta yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Kemacetan

Infrastruktur dan pelayanan publik

Kemacetan Tak Kunjung Usai

Kalau nggak macet, namanya bukan Jakarta!  Begitulah orang-orang kerap berujar, saking identiknya Jakarta dan macet. Meskipun survei kemacetan global Tomtom 2023, menunjukkan peringkat Jakarta telah turun ke urutan 30 dari urutan 29 di 2019, namun ternyata waktu yang dihabiskan para pengguna jalan justru meningkat. Untuk menempuh jarak 10 km misalnya, pengguna jalan rata-rata menghabiskan waktu 23 menit 20 detik, naik 40 detik dari tahun 2022. 


Penyebab utama masalah ini adalah lonjakan kendaraan bermotor yang mencapai 21,9 juta unit pada 2023, naik 24,3% dari 2017. Tak ayal, 79% komuter aktif di Jakarta masih menggunakan kendaraan bermotor, sangat jomplang dibanding dengan pengguna transportasi publik yang hanya sebesar 19% dari total komuter aktif.  


Lantas mengapa masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang transportasi umum? Bukankah layanan transportasi publik Jakarta sudah semakin luas dengan adanya layanan Transjakarta, Mikrotrans, MRT, LRT maupun KRL Commuter Line? Bahkan untuk Jakarta, tingkat jangkauan transportasi publik DKI Jakarta mencapai 96.1% total jumlah penduduk.


Faktanya, ternyata banyak masyarakat  ogah beralih ke transportasi publik karena masih dianggap tidak praktis, waktu tempuh lama, dan waktu tunggu lama. Menteri Perhubungan Budi Karya juga sebelumnya pernah menyoroti okupansi transportasi publik seperti MRT Jakarta yang mandek karena belum optimalnya pengembangan first mile dan last mile sebagai penghubung dari/ke tujuan awal dan tujuan akhir.


Pengelolaan Mikrotrans sebagai solusi masalah first mile dan last mile pun masih menjadi polemik. Supir dan mitra program JakLingko kerap mengeluhkan sistem perhitungan pendapatan pengemudi dan penyerapan armada baru hingga berujung demo di depan Balai Kota Jakarta pada akhir Juli 2024 lalu.

Kemacetan

Kemacetan

Infrastruktur dan pelayanan publik

Kemacetan Tak Kunjung Usai

Kalau nggak macet, namanya bukan Jakarta!  Begitulah orang-orang kerap berujar, saking identiknya Jakarta dan macet. Meskipun survei kemacetan global Tomtom 2023, menunjukkan peringkat Jakarta telah turun ke urutan 30 dari urutan 29 di 2019, namun ternyata waktu yang dihabiskan para pengguna jalan justru meningkat. Untuk menempuh jarak 10 km misalnya, pengguna jalan rata-rata menghabiskan waktu 23 menit 20 detik, naik 40 detik dari tahun 2022. 


Penyebab utama masalah ini adalah lonjakan kendaraan bermotor yang mencapai 21,9 juta unit pada 2023, naik 24,3% dari 2017. Tak ayal, 79% komuter aktif di Jakarta masih menggunakan kendaraan bermotor, sangat jomplang dibanding dengan pengguna transportasi publik yang hanya sebesar 19% dari total komuter aktif.  


Lantas mengapa masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang transportasi umum? Bukankah layanan transportasi publik Jakarta sudah semakin luas dengan adanya layanan Transjakarta, Mikrotrans, MRT, LRT maupun KRL Commuter Line? Bahkan untuk Jakarta, tingkat jangkauan transportasi publik DKI Jakarta mencapai 96.1% total jumlah penduduk.


Faktanya, ternyata banyak masyarakat  ogah beralih ke transportasi publik karena masih dianggap tidak praktis, waktu tempuh lama, dan waktu tunggu lama. Menteri Perhubungan Budi Karya juga sebelumnya pernah menyoroti okupansi transportasi publik seperti MRT Jakarta yang mandek karena belum optimalnya pengembangan first mile dan last mile sebagai penghubung dari/ke tujuan awal dan tujuan akhir.


Pengelolaan Mikrotrans sebagai solusi masalah first mile dan last mile pun masih menjadi polemik. Supir dan mitra program JakLingko kerap mengeluhkan sistem perhitungan pendapatan pengemudi dan penyerapan armada baru hingga berujung demo di depan Balai Kota Jakarta pada akhir Juli 2024 lalu.

Polusi Udara dan Sampah

Iklim dan lingkungan

Jakarta di Tengah Polusi: Kualitas Udara Memburuk, Sampah Menumpuk

Kapan terakhir kali kamu melihat pemandangan langit biru di Jakarta? Ya, kita sama-sama tahu jawabannya: sangat jarang, bahkan bisa dibilang momen yang sangat langka. Bagi warga Jakarta, warna langit sudah jadi kelabu akibat polusi udara yang kian hari kian memburuk.


Pada 2023, rata-rata konsentrasi PM2.5 di Jakarta mencapai 43.8μg/m³, meningkat 48.6% dari 2017. Partikel ini sangat berbahaya, dapat menyebabkan  berbagai masalah kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan atau ISPA, kanker, hingga stunting.


Buruknya kualitas udara di Jakarta ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti emisi kendaraan bermotor, cuaca panas musim kemarau, serta angin dari luar Jakarta yang membawa polusi dari pabrik-pabrik. Meski Pemprov Jakarta dan Pemerintah Pusat telah mendorong penggunaan kendaraan listrik hingga wacana menyuntik mati PLTU Suralaya, efektivitas langkah-langkah ini masih dipertanyakan.


Selain itu, ibukota juga masih dibayangi masalah polusi sampah. Jakarta menghasilkan 7,500 ton sampah setiap hari, sebagian besar “diekspor” ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi. Hingga saat ini, tumpukan sampah telah mencapai 40 meter atau setara gedung 16 lantai


Meskipun ketinggian sampah sudah mencapai batas maksimum sejak 2021, rencana pengelolaan sampah Jakarta masih tidak jelas. Usulan pembuatan “Pulau Sampah” telah ditolak DPRD (2024), pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) masih mandek, serta Pabrik Refused-derived Fuel baru memasuki tahap pengerjaan. Masterplan persampahan Jakarta 2012-2032 pun seperti tak menjadi perhatian utama para pemangku kebijakan.


Kedua masalah ini membutuhkan solusi konkret dan komitmen yang lebih serius dari para pemangku kebijakan untuk memastikan Jakarta tetap layak huni di masa depan dan tidak menimbulkan masalah baru bagi daerah-daerah penyangga.

Polusi Udara dan Sampah

Polusi Udara dan Sampah

Iklim dan lingkungan

Jakarta di Tengah Polusi: Kualitas Udara Memburuk, Sampah Menumpuk

Kapan terakhir kali kamu melihat pemandangan langit biru di Jakarta? Ya, kita sama-sama tahu jawabannya: sangat jarang, bahkan bisa dibilang momen yang sangat langka. Bagi warga Jakarta, warna langit sudah jadi kelabu akibat polusi udara yang kian hari kian memburuk.


Pada 2023, rata-rata konsentrasi PM2.5 di Jakarta mencapai 43.8μg/m³, meningkat 48.6% dari 2017. Partikel ini sangat berbahaya, dapat menyebabkan  berbagai masalah kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan atau ISPA, kanker, hingga stunting.


Buruknya kualitas udara di Jakarta ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti emisi kendaraan bermotor, cuaca panas musim kemarau, serta angin dari luar Jakarta yang membawa polusi dari pabrik-pabrik. Meski Pemprov Jakarta dan Pemerintah Pusat telah mendorong penggunaan kendaraan listrik hingga wacana menyuntik mati PLTU Suralaya, efektivitas langkah-langkah ini masih dipertanyakan.


Selain itu, ibukota juga masih dibayangi masalah polusi sampah. Jakarta menghasilkan 7,500 ton sampah setiap hari, sebagian besar “diekspor” ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi. Hingga saat ini, tumpukan sampah telah mencapai 40 meter atau setara gedung 16 lantai


Meskipun ketinggian sampah sudah mencapai batas maksimum sejak 2021, rencana pengelolaan sampah Jakarta masih tidak jelas. Usulan pembuatan “Pulau Sampah” telah ditolak DPRD (2024), pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) masih mandek, serta Pabrik Refused-derived Fuel baru memasuki tahap pengerjaan. Masterplan persampahan Jakarta 2012-2032 pun seperti tak menjadi perhatian utama para pemangku kebijakan.


Kedua masalah ini membutuhkan solusi konkret dan komitmen yang lebih serius dari para pemangku kebijakan untuk memastikan Jakarta tetap layak huni di masa depan dan tidak menimbulkan masalah baru bagi daerah-daerah penyangga.

Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉

Menurut saya,

Menurut saya,

Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉

Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉

Menemukan konten yang kurang sesuai?

Jika kamu menemukan konten kami yang dirasa kurang sesuai, baik dari segi sumber informasi atau data, masukkan feedbackmu melalui feedback form atau kontak kami melalui contact@bijakdemokrasi.id, agar kami dapat mereview ulang.

Buka bagian

Buka bagian

Buka bagian