Kabupaten Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo
Peneliti
Naufal Hilmi
Editor
Afutami
Bagian dari provinsi
:
Untuk warga Kabupaten Sukoharjo, selain memilih walikota, kamu juga harus memilih gubernur Provinsi Jawa Tengah.
Untuk warga Kabupaten Sukoharjo, selain memilih walikota, kamu juga harus memilih gubernur Provinsi Jawa Tengah.
Profil daerah
PERMASALAHAN DAERAH
BACA LAINNYA
🗺️ Profil Daerah
Tentang Daerah
Juga dikenal sebagai Kabupaten Makmur, Sukoharjo merupakan daerah dengan kekayaan budaya Jawa yang kuat. Kabupaten ini terkenal dengan kerajinan genteng dan gamelannya, serta memiliki potensi besar di bidang pertanian dan industri kecil tradisional.
Jumlah Penduduk
± 930 Juta
Luas
489,12 km²
ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)
± 17,0 Ribu
+0,04
UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)
Rp 2,22 Juta
Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)
Rp 46,5 Triliun
SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)
Industri Pengolahan
Rp 17,8 Triliun
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Rp 7,9 Triliun
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Rp 3,8 Triliun
Data diambil BPS Jawa Timur (2024). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Timur Menurut Lapangan Usaha. Vol. 16, 2024.
Tentang Daerah
Juga dikenal sebagai Kabupaten Makmur, Sukoharjo merupakan daerah dengan kekayaan budaya Jawa yang kuat. Kabupaten ini terkenal dengan kerajinan genteng dan gamelannya, serta memiliki potensi besar di bidang pertanian dan industri kecil tradisional.
Jumlah Penduduk
± 930 Juta
Luas
489,12 km²
ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)
± 17,0 Ribu
+0,04
UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)
Rp 2,22 Juta
Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)
Rp 46,5 Triliun
SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)
Industri Pengolahan
Rp 17,8 Triliun
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Rp 7,9 Triliun
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Rp 3,8 Triliun
Data diambil BPS Jawa Timur (2024). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Timur Menurut Lapangan Usaha. Vol. 16, 2024.
Tentang Daerah
Juga dikenal sebagai Kabupaten Makmur, Sukoharjo merupakan daerah dengan kekayaan budaya Jawa yang kuat. Kabupaten ini terkenal dengan kerajinan genteng dan gamelannya, serta memiliki potensi besar di bidang pertanian dan industri kecil tradisional.
Jumlah Penduduk
± 930 Juta
Luas
489,12 km²
ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)
± 17,0 Ribu
+0,04
UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)
Rp 2,22 Juta
Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)
Rp 46,5 Triliun
SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)
Industri Pengolahan
Rp 17,8 Triliun
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Rp 7,9 Triliun
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Rp 3,8 Triliun
Data diambil BPS Jawa Timur (2024). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Timur Menurut Lapangan Usaha. Vol. 16, 2024.
Keuangan Daerah
Keuangan Daerah
Keuangan Daerah
⚠️ Isu Sorotan Daerah
Pengelolaan Sampah Terpadu
Iklim dan lingkungan
Pengelolaan Sampah Terpadu
Salah satu masalah lingkungan hidup yang masih membayangi Kabupaten Sukoharjo adalah persoalan pengelolaan sampah terpadu. Pengelolaan sampah di Sukoharjo masih linear. Artinya, sampah yang dihasilkan di level rumah tangga hanya dibuang ke TPS, lalu diangkut ke TPA Mojorejo. Walaupun sudah ada program pengelolaan lebih lanjut untuk sampah yaitu Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R), tetapi penggunaannya masih belum maksimal. Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sukoharjo, dari sebelas TPS 3R, baru tiga yang secara aktif beroperasi mengelola sampah.
Selain itu, saat Covid-19 melanda pada 2020, volume sampah yang dibuang ke TPA Mojorejo Bendosari naik drastis. Padahal kapasitas TPA Mojorejo hampir overload karena 99,54% lahannya sudah terpakai. Adanya perubahan kebiasaan saat pandemi seperti menggunakan layanan online pesan antar makanan dan paket bikin sampah plastik melonjak. Volume sampah terbanyak pun terjadi pada 2020 dari 130 ton/hari menjadi 175 ton/hari pada 2021. Pengolahan sampah domestik juga baru menyentuh persentase 19,76% dari target 22% tahun 2021. Sayangnya 25 ton di antaranya menjadi sampah liar karena tidak terangkut dan dibuang ke TPA Mojorejo.
Misalnya, banyak sampah liar di kecamatan Kartasura. Sedikitnya ada tiga tempat pembuangan sampah (TPS) liar di daerah ini. Bahkan DLH pernah membersihkan sampah dari daerah Kertonatan sampai Pabelan dan mengumpulkan dua truk sampah liar. Banyaknya sampah liar ini jadi bikin wilayah bagian utara Sukoharjo gak enak dipandang, kan?
Di sisi lain, berdasarkan target Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) dan Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada), masalah sampah ini pada 2025 harus 100% terkelola. Jadi, nantinya hanya 70% sampah yang akan dibuang ke TPA, sedangkan 30% sisanya akan didaur ulang seperti pembuatan bank sampah dan budidaya maggot supaya memiliki nilai ekonomi. Nah masalahnya, pengelolaan 30% sampah di Sukoharjo masih terkendala pada Sumber Daya Manusia (SDM). Bahkan ada kelompok KKN dari Universitas Sebelas Maret yang masih harus memberikan sosialisasi pengelolaan sampah kepada Desa Daleman karena sampah belum adanya bank sampah atau TPS.
Pengelolaan Sampah Terpadu
Iklim dan lingkungan
Pengelolaan Sampah Terpadu
Salah satu masalah lingkungan hidup yang masih membayangi Kabupaten Sukoharjo adalah persoalan pengelolaan sampah terpadu. Pengelolaan sampah di Sukoharjo masih linear. Artinya, sampah yang dihasilkan di level rumah tangga hanya dibuang ke TPS, lalu diangkut ke TPA Mojorejo. Walaupun sudah ada program pengelolaan lebih lanjut untuk sampah yaitu Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R), tetapi penggunaannya masih belum maksimal. Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sukoharjo, dari sebelas TPS 3R, baru tiga yang secara aktif beroperasi mengelola sampah.
Selain itu, saat Covid-19 melanda pada 2020, volume sampah yang dibuang ke TPA Mojorejo Bendosari naik drastis. Padahal kapasitas TPA Mojorejo hampir overload karena 99,54% lahannya sudah terpakai. Adanya perubahan kebiasaan saat pandemi seperti menggunakan layanan online pesan antar makanan dan paket bikin sampah plastik melonjak. Volume sampah terbanyak pun terjadi pada 2020 dari 130 ton/hari menjadi 175 ton/hari pada 2021. Pengolahan sampah domestik juga baru menyentuh persentase 19,76% dari target 22% tahun 2021. Sayangnya 25 ton di antaranya menjadi sampah liar karena tidak terangkut dan dibuang ke TPA Mojorejo.
Misalnya, banyak sampah liar di kecamatan Kartasura. Sedikitnya ada tiga tempat pembuangan sampah (TPS) liar di daerah ini. Bahkan DLH pernah membersihkan sampah dari daerah Kertonatan sampai Pabelan dan mengumpulkan dua truk sampah liar. Banyaknya sampah liar ini jadi bikin wilayah bagian utara Sukoharjo gak enak dipandang, kan?
Di sisi lain, berdasarkan target Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) dan Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada), masalah sampah ini pada 2025 harus 100% terkelola. Jadi, nantinya hanya 70% sampah yang akan dibuang ke TPA, sedangkan 30% sisanya akan didaur ulang seperti pembuatan bank sampah dan budidaya maggot supaya memiliki nilai ekonomi. Nah masalahnya, pengelolaan 30% sampah di Sukoharjo masih terkendala pada Sumber Daya Manusia (SDM). Bahkan ada kelompok KKN dari Universitas Sebelas Maret yang masih harus memberikan sosialisasi pengelolaan sampah kepada Desa Daleman karena sampah belum adanya bank sampah atau TPS.
Pengelolaan Sampah Terpadu
Iklim dan lingkungan
Pengelolaan Sampah Terpadu
Salah satu masalah lingkungan hidup yang masih membayangi Kabupaten Sukoharjo adalah persoalan pengelolaan sampah terpadu. Pengelolaan sampah di Sukoharjo masih linear. Artinya, sampah yang dihasilkan di level rumah tangga hanya dibuang ke TPS, lalu diangkut ke TPA Mojorejo. Walaupun sudah ada program pengelolaan lebih lanjut untuk sampah yaitu Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R), tetapi penggunaannya masih belum maksimal. Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sukoharjo, dari sebelas TPS 3R, baru tiga yang secara aktif beroperasi mengelola sampah.
Selain itu, saat Covid-19 melanda pada 2020, volume sampah yang dibuang ke TPA Mojorejo Bendosari naik drastis. Padahal kapasitas TPA Mojorejo hampir overload karena 99,54% lahannya sudah terpakai. Adanya perubahan kebiasaan saat pandemi seperti menggunakan layanan online pesan antar makanan dan paket bikin sampah plastik melonjak. Volume sampah terbanyak pun terjadi pada 2020 dari 130 ton/hari menjadi 175 ton/hari pada 2021. Pengolahan sampah domestik juga baru menyentuh persentase 19,76% dari target 22% tahun 2021. Sayangnya 25 ton di antaranya menjadi sampah liar karena tidak terangkut dan dibuang ke TPA Mojorejo.
Misalnya, banyak sampah liar di kecamatan Kartasura. Sedikitnya ada tiga tempat pembuangan sampah (TPS) liar di daerah ini. Bahkan DLH pernah membersihkan sampah dari daerah Kertonatan sampai Pabelan dan mengumpulkan dua truk sampah liar. Banyaknya sampah liar ini jadi bikin wilayah bagian utara Sukoharjo gak enak dipandang, kan?
Di sisi lain, berdasarkan target Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) dan Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada), masalah sampah ini pada 2025 harus 100% terkelola. Jadi, nantinya hanya 70% sampah yang akan dibuang ke TPA, sedangkan 30% sisanya akan didaur ulang seperti pembuatan bank sampah dan budidaya maggot supaya memiliki nilai ekonomi. Nah masalahnya, pengelolaan 30% sampah di Sukoharjo masih terkendala pada Sumber Daya Manusia (SDM). Bahkan ada kelompok KKN dari Universitas Sebelas Maret yang masih harus memberikan sosialisasi pengelolaan sampah kepada Desa Daleman karena sampah belum adanya bank sampah atau TPS.
Pemerataan Akses Pendidikan Menengah
Pendidikan
Pemerataan Akses Pendidikan Menengah
Pendidikan jadi faktor penting majunya kualitas SDM sebuah daerah. Sayangnya, dalam data Statistika Pendidikan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2022, ada 1,16% penduduk usia 13-15 tahun yang belum sekolah atau tidak melanjutkan sekolahnya. Sedangkan masih ada 19,04 % penduduk usia 16-18 tahun yang belum pernah atau tidak bersekolah. Di sisi lain, Angka Partisipasi Kasar (APK) di tingkat menengah atas juga semakin menurun. Padahal APK ini penting sebagai tolok ukur keberhasilan program pendidikan pemerintah untuk memperluas kesempatan penduduk mengenyam pendidikan.
Rata-rata penduduk di Sukoharjo menyelesaikan pendidikannya hanya sampai kelas 1 SMA/sederajat. Padahal, target pemerintah pusat adalah penduduk bisa menyelesaikan pendidikan selama dua belas tahun atau setara kelas 3 SMA/sederajat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sukoharjo, Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 13-15 tahun pada 2018 sudah 100%, tetapi persentase ini menurun di tahun-tahun berikutnya. Penduduk yang tidak melanjutkan pendidikan, khususnya di tingkat menengah atas terjadi karena alasan ekonomi, perkawinan muda, dan anggapan kalau pendidikan bukan sesuatu yang penting.
Penurunan jumlah penduduk yang melanjutkan sekolah ini juga memengaruhi keberlanjutan dari sekolah-sekolah yang ada di Sukoharjo, loh! Tahun 2020 ada beberapa sekolah, terutama yang berlokasi di pinggiran Sukoharjo seperti Nguter, Bendosari, dan Bulu sepi peminat. Bahkan ada sekolah yang tidak ada pendaftarnya sama sekali. Fenomena sepinya siswa yang melanjutkan sekolah ini sudah terjadi selama tiga tahun terakhir, dari 2020 sampai 2023.
Mau tidak mau, pemerintah kabupaten harus menggabungkan enam belas sekolah dasar (SD) menjadi delapan SD saja pada 2022. Jadi, sekolah-sekolah yang tidak memiliki peserta didik kurang dari 50 anak akan digabungkan dengan sekolah lainnya. Di samping itu, ada juga faktor-faktor pendukung yang melatarbelakangi penggabungan sekolah ini di antaranya, kurangnya jumlah guru, fasilitas sekolah yang bangunannya rusak 50% sehingga tidak memadai untuk proses belajar mengajar, dan minat orang tua yang menyekolahkan anak mereka ke swasta untuk pendidikan yang lebih terjamin serta berkualitas.
Pemerataan Akses Pendidikan Menengah
Pemerataan Akses Pendidikan Menengah
Pendidikan
Pemerataan Akses Pendidikan Menengah
Pendidikan jadi faktor penting majunya kualitas SDM sebuah daerah. Sayangnya, dalam data Statistika Pendidikan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2022, ada 1,16% penduduk usia 13-15 tahun yang belum sekolah atau tidak melanjutkan sekolahnya. Sedangkan masih ada 19,04 % penduduk usia 16-18 tahun yang belum pernah atau tidak bersekolah. Di sisi lain, Angka Partisipasi Kasar (APK) di tingkat menengah atas juga semakin menurun. Padahal APK ini penting sebagai tolok ukur keberhasilan program pendidikan pemerintah untuk memperluas kesempatan penduduk mengenyam pendidikan.
Rata-rata penduduk di Sukoharjo menyelesaikan pendidikannya hanya sampai kelas 1 SMA/sederajat. Padahal, target pemerintah pusat adalah penduduk bisa menyelesaikan pendidikan selama dua belas tahun atau setara kelas 3 SMA/sederajat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sukoharjo, Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 13-15 tahun pada 2018 sudah 100%, tetapi persentase ini menurun di tahun-tahun berikutnya. Penduduk yang tidak melanjutkan pendidikan, khususnya di tingkat menengah atas terjadi karena alasan ekonomi, perkawinan muda, dan anggapan kalau pendidikan bukan sesuatu yang penting.
Penurunan jumlah penduduk yang melanjutkan sekolah ini juga memengaruhi keberlanjutan dari sekolah-sekolah yang ada di Sukoharjo, loh! Tahun 2020 ada beberapa sekolah, terutama yang berlokasi di pinggiran Sukoharjo seperti Nguter, Bendosari, dan Bulu sepi peminat. Bahkan ada sekolah yang tidak ada pendaftarnya sama sekali. Fenomena sepinya siswa yang melanjutkan sekolah ini sudah terjadi selama tiga tahun terakhir, dari 2020 sampai 2023.
Mau tidak mau, pemerintah kabupaten harus menggabungkan enam belas sekolah dasar (SD) menjadi delapan SD saja pada 2022. Jadi, sekolah-sekolah yang tidak memiliki peserta didik kurang dari 50 anak akan digabungkan dengan sekolah lainnya. Di samping itu, ada juga faktor-faktor pendukung yang melatarbelakangi penggabungan sekolah ini di antaranya, kurangnya jumlah guru, fasilitas sekolah yang bangunannya rusak 50% sehingga tidak memadai untuk proses belajar mengajar, dan minat orang tua yang menyekolahkan anak mereka ke swasta untuk pendidikan yang lebih terjamin serta berkualitas.
Infrastruktur Pembangunan
Infrastruktur
Infrastruktur Jalan yang Belum Memadai
Siapa yang suka kejeglong pas lagi naik motor di bekonang atau mojolaban? Pada salah satu media berita, wilayah ini dijuluki “Jeglongan Sewu”! Bagaimana tidak? Wilayah ini punya banyak jalan berlubang berdiameter 20-30 cm yang berbahaya untuk pengendara dan menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Bahkan, berdasarkan laporan dari Polres Sukoharjo, sudah ada korban yang meninggal dunia saat kecelakaan karena jalan rusak. Sayangnya, Satlantas Polres Sukoharjo hanya bisa melingkari lubang-lubang tersebut dengan cat warna putih. Jalan kecil yang sering dilewati truk-truk besar ini juga menjadi lebih berbahaya saat musim penghujan seperti saat ini. Alasannya karena lubang tidak kelihatan saat tergenang air hujan, padahal seringkali lubangnya cukup dalam. Ironis ya, di tahun 2024 pun infrastruktur dasar seperti jalan yang layak masih jadi masalah di Sukoharjo.
Lalu, di daerah lainnya seperti Grogol, kondisi jalan juga tidak lebih baik, bahkan disebut seperti lintasan off road. Kata salah satu warga, jalan di daerah ini sudah lama rusak tapi tidak kunjung diperbaiki. Padahal, lokasinya ada di daerah yang rawan banjir. Dari pemkab sendiri sebenarnya sudah punya inisiatif dan anggaran sebesar 80 miliar untuk memperbaiki jalan rusak dan sekitar 5 miliar untuk menambal jalan rusak yang sifatnya darurat. Tapi, pemda sering oper mengoper kewenangan ke pemerintah desa atau provinsi dengan dalih kalau jalan tersebut bukan jalan kabupaten. Gak heran, permasalahan ini tidak kunjung usai dari dulu ya?
Dari data jalan rusak di kabupaten Sukoharjo tahun 2022 sendiri, kecamatan Bulakan adalah wilayah yang punya jalanan rusak paling banyak. Sedangkan wilayah yang jalan rusaknya paling sedikit adalah Kecamatan Gayam, yang juga merupakan lokasi rumah dinas bupati Sukoharjo. Di sisi lain, infrastruktur jalan ini adalah salah satu program prioritas Bupati Sukoharjo tahun 2024 dengan anggaran 99,5 miliar. Selain itu, ada 19 proyek perbaikan jalan rusak tahun ini dan ditargetkan selesai pada akhir tahun.
Infrastruktur Pembangunan
Infrastruktur Pembangunan
Infrastruktur
Infrastruktur Jalan yang Belum Memadai
Siapa yang suka kejeglong pas lagi naik motor di bekonang atau mojolaban? Pada salah satu media berita, wilayah ini dijuluki “Jeglongan Sewu”! Bagaimana tidak? Wilayah ini punya banyak jalan berlubang berdiameter 20-30 cm yang berbahaya untuk pengendara dan menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Bahkan, berdasarkan laporan dari Polres Sukoharjo, sudah ada korban yang meninggal dunia saat kecelakaan karena jalan rusak. Sayangnya, Satlantas Polres Sukoharjo hanya bisa melingkari lubang-lubang tersebut dengan cat warna putih. Jalan kecil yang sering dilewati truk-truk besar ini juga menjadi lebih berbahaya saat musim penghujan seperti saat ini. Alasannya karena lubang tidak kelihatan saat tergenang air hujan, padahal seringkali lubangnya cukup dalam. Ironis ya, di tahun 2024 pun infrastruktur dasar seperti jalan yang layak masih jadi masalah di Sukoharjo.
Lalu, di daerah lainnya seperti Grogol, kondisi jalan juga tidak lebih baik, bahkan disebut seperti lintasan off road. Kata salah satu warga, jalan di daerah ini sudah lama rusak tapi tidak kunjung diperbaiki. Padahal, lokasinya ada di daerah yang rawan banjir. Dari pemkab sendiri sebenarnya sudah punya inisiatif dan anggaran sebesar 80 miliar untuk memperbaiki jalan rusak dan sekitar 5 miliar untuk menambal jalan rusak yang sifatnya darurat. Tapi, pemda sering oper mengoper kewenangan ke pemerintah desa atau provinsi dengan dalih kalau jalan tersebut bukan jalan kabupaten. Gak heran, permasalahan ini tidak kunjung usai dari dulu ya?
Dari data jalan rusak di kabupaten Sukoharjo tahun 2022 sendiri, kecamatan Bulakan adalah wilayah yang punya jalanan rusak paling banyak. Sedangkan wilayah yang jalan rusaknya paling sedikit adalah Kecamatan Gayam, yang juga merupakan lokasi rumah dinas bupati Sukoharjo. Di sisi lain, infrastruktur jalan ini adalah salah satu program prioritas Bupati Sukoharjo tahun 2024 dengan anggaran 99,5 miliar. Selain itu, ada 19 proyek perbaikan jalan rusak tahun ini dan ditargetkan selesai pada akhir tahun.
Kekerasan, Bullying, dan Pernikahan Dini Anak
Ekonomi dan kesejahteraan
Kekerasan, Bullying, dan Pernikahan Dini Anak
Adanya perwakilan pemimpin perempuan sebagai bupati ternyata belum bisa bawa kesejahteraan bagi perempuan dan anak-anak. Lima tahun ke belakang, kasus perkawinan anak jadi masalah yang tidak kunjung ada penyelesaiaannya. Tahun 2019, ada 31 kasus perkawinan anak selama semester satu. Kata kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Sukoharjo, tingginya kasus ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya efek negatif handphone, dampak negatif perceraian orang tua, tuntutan agama dan tradisi, putus sekolah karena kemiskinan, hingga pergaulan bebas. Pengadilan agama pun terpaksa memberikan dispensasi pernikahan karena anak perempuan sudah terlanjur hamil di luar pernikahan.
Selain itu, angka pernikahan dini di Sukoharjo naik berkali-kali lipat pada 2020. Hingga akhir tahun, ada 203 kasus pernikahan dini. Menurut kepala DPPKBP3A Sukoharjo, Covid-19 berpengaruh besar terhadap lonjakan angka ini karena anak hanya di rumah dan kemungkinan terpapar konten pornografi. Angka ini sempat turun pada tahun 2022 yaitu sebanyak 47 permohonan pernikahan anak dari Januari hingga April 2022. Tapi, angka ini naik lagi pada Januari - Agustus 2024 di mana Kementerian Agama Kabupaten Sukoharjo mencatat ada 54 pernikahan anak, terdiri dari 34 anak perempuan dan 19 anak laki-laki. Alhasil, masalah ini juga jadi meningkatkan kasus perceraian dan menghambat program strategis pemerintah seperti wajib belajar 12 tahun, KB, pengentasan kemiskinan, dan kesejahteraan anak. Pada tahun yang sama, pemda juga sudah menggaungkan program Jo Kawin Bocah untuk menurunkan angka perkawinan dini ini.
Selain pernikahan anak, Kabupaten Sukoharjo juga darurat kekerasan dan bullying. Menurut data BPS sendiri, ada 32 anak sudah menjadi korban kekerasan di Sukoharjo. Selanjutnya, berdasarkan pernyataan Kabid DPPKBP3A Sukoharjo, kasus kekerasan seksual anak ini merupakan dampak lanjutan dari maraknya kasus pernikahan anak. Di Sukoharjo juga ada pergeseran tren kekerasan terhadap anak menjadi perundungan atau bullying. Ada lebih dari 10 kasus bullying, baik di sekolah maupun luar sekolah. Kasus perundungan ini merupakan kekerasan terhadap anak karena bisa memengaruhi fisik, verbal, dan psikologis. Darurat perundungan ini bahkan sudah merenggut nyawa seorang remaja yang bersekolah di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Grogol, Sukoharjo.
Kekerasan, Bullying, dan Pernikahan Dini Anak
Kekerasan, Bullying, dan Pernikahan Dini Anak
Ekonomi dan kesejahteraan
Kekerasan, Bullying, dan Pernikahan Dini Anak
Adanya perwakilan pemimpin perempuan sebagai bupati ternyata belum bisa bawa kesejahteraan bagi perempuan dan anak-anak. Lima tahun ke belakang, kasus perkawinan anak jadi masalah yang tidak kunjung ada penyelesaiaannya. Tahun 2019, ada 31 kasus perkawinan anak selama semester satu. Kata kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Sukoharjo, tingginya kasus ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya efek negatif handphone, dampak negatif perceraian orang tua, tuntutan agama dan tradisi, putus sekolah karena kemiskinan, hingga pergaulan bebas. Pengadilan agama pun terpaksa memberikan dispensasi pernikahan karena anak perempuan sudah terlanjur hamil di luar pernikahan.
Selain itu, angka pernikahan dini di Sukoharjo naik berkali-kali lipat pada 2020. Hingga akhir tahun, ada 203 kasus pernikahan dini. Menurut kepala DPPKBP3A Sukoharjo, Covid-19 berpengaruh besar terhadap lonjakan angka ini karena anak hanya di rumah dan kemungkinan terpapar konten pornografi. Angka ini sempat turun pada tahun 2022 yaitu sebanyak 47 permohonan pernikahan anak dari Januari hingga April 2022. Tapi, angka ini naik lagi pada Januari - Agustus 2024 di mana Kementerian Agama Kabupaten Sukoharjo mencatat ada 54 pernikahan anak, terdiri dari 34 anak perempuan dan 19 anak laki-laki. Alhasil, masalah ini juga jadi meningkatkan kasus perceraian dan menghambat program strategis pemerintah seperti wajib belajar 12 tahun, KB, pengentasan kemiskinan, dan kesejahteraan anak. Pada tahun yang sama, pemda juga sudah menggaungkan program Jo Kawin Bocah untuk menurunkan angka perkawinan dini ini.
Selain pernikahan anak, Kabupaten Sukoharjo juga darurat kekerasan dan bullying. Menurut data BPS sendiri, ada 32 anak sudah menjadi korban kekerasan di Sukoharjo. Selanjutnya, berdasarkan pernyataan Kabid DPPKBP3A Sukoharjo, kasus kekerasan seksual anak ini merupakan dampak lanjutan dari maraknya kasus pernikahan anak. Di Sukoharjo juga ada pergeseran tren kekerasan terhadap anak menjadi perundungan atau bullying. Ada lebih dari 10 kasus bullying, baik di sekolah maupun luar sekolah. Kasus perundungan ini merupakan kekerasan terhadap anak karena bisa memengaruhi fisik, verbal, dan psikologis. Darurat perundungan ini bahkan sudah merenggut nyawa seorang remaja yang bersekolah di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Grogol, Sukoharjo.
Tinggi Angka Kematian Bayi & Stunting
Ekonomi dan Kesejahteraan
Tingginya Angka Kematian Bayi dan Ibu serta Risiko Stunting
Kabupaten Sukoharjo masih punya banyak hutang dalam memenuhi kesejahteraan ibu dan anak karena Angka Kematian bayi (AKB) dan Kematian Ibu Melahirkan (AKI) tidak kunjung membaik. Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026 Sukoharjo, alasan angka kematian ibu kembali naik disebabkan oleh kehamilan berisiko di atas 35 tahun dan komplikasi karena riwayat penyakit ibu seperti emboli air ketuban, hipertensi, atau anemia. Menurut kajian, Ibu yang melahirkan di atas 35 tahun lebih berisiko mengalami kematian maternal. Sedangkan, ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki risiko kematian 4,200 kali lebih besar.
Di sisi lain, angka kematian bayi periode 2016-2020 sendiri cukup fluktuatif. Peningkatan kematian bayi ini terjadi pada dua kondisi, yaitu saat Intrauterine Fetal Death (IUFD) dan kematian neonatal atau bayi baru lahir. IUFD sendiri adalah istilah medis untuk kondisi kematian janin dalam kandungan setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu. Angka IUFD meningkat dari 4 anak pada 2021 menjadi 6 anak pada 2022. Sedangkan secara keseluruhan, kasus AKB di Sukoharjo meningkat dari 64 kasus tahun 2021 menjadi 67 kasus tahun 2022.
Sebenarnya AKI sudah menurun dari tahun 2021 ke 2022. Tapi, walaupun begitu, masalah AKI ini tetap menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani pemda. Masalah ini mendesak karena jadi salah satu faktor adanya stunting di Sukoharjo. Masih ada 10 desa dengan jumlah stunting tertinggi dan Polokarto sebagai wilayah dengan kasus stunting terbanyak. Pencegahan stunting secara holistik sendiri merupakan program prioritas untuk mewujudkan generasi emas 2045 mendatang.
Berdasarkan laporan Direktur RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo, sudah ada pembentukan tim untuk menekan angka AKB dan AKI. Tim ini juga menyusun program deteksi dini dan pengelolaan ibu hamil berisiko tinggi, bekerja sama dengan faskes sekitar. Selain itu, ia juga melakukan pemenuhan alat kesehatan sebagai sarana prasarana untuk pelayanan ibu bersalin dan bayi baru lahir.
Tinggi Angka Kematian Bayi & Stunting
Tinggi Angka Kematian Bayi & Stunting
Ekonomi dan Kesejahteraan
Tingginya Angka Kematian Bayi dan Ibu serta Risiko Stunting
Kabupaten Sukoharjo masih punya banyak hutang dalam memenuhi kesejahteraan ibu dan anak karena Angka Kematian bayi (AKB) dan Kematian Ibu Melahirkan (AKI) tidak kunjung membaik. Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026 Sukoharjo, alasan angka kematian ibu kembali naik disebabkan oleh kehamilan berisiko di atas 35 tahun dan komplikasi karena riwayat penyakit ibu seperti emboli air ketuban, hipertensi, atau anemia. Menurut kajian, Ibu yang melahirkan di atas 35 tahun lebih berisiko mengalami kematian maternal. Sedangkan, ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki risiko kematian 4,200 kali lebih besar.
Di sisi lain, angka kematian bayi periode 2016-2020 sendiri cukup fluktuatif. Peningkatan kematian bayi ini terjadi pada dua kondisi, yaitu saat Intrauterine Fetal Death (IUFD) dan kematian neonatal atau bayi baru lahir. IUFD sendiri adalah istilah medis untuk kondisi kematian janin dalam kandungan setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu. Angka IUFD meningkat dari 4 anak pada 2021 menjadi 6 anak pada 2022. Sedangkan secara keseluruhan, kasus AKB di Sukoharjo meningkat dari 64 kasus tahun 2021 menjadi 67 kasus tahun 2022.
Sebenarnya AKI sudah menurun dari tahun 2021 ke 2022. Tapi, walaupun begitu, masalah AKI ini tetap menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani pemda. Masalah ini mendesak karena jadi salah satu faktor adanya stunting di Sukoharjo. Masih ada 10 desa dengan jumlah stunting tertinggi dan Polokarto sebagai wilayah dengan kasus stunting terbanyak. Pencegahan stunting secara holistik sendiri merupakan program prioritas untuk mewujudkan generasi emas 2045 mendatang.
Berdasarkan laporan Direktur RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo, sudah ada pembentukan tim untuk menekan angka AKB dan AKI. Tim ini juga menyusun program deteksi dini dan pengelolaan ibu hamil berisiko tinggi, bekerja sama dengan faskes sekitar. Selain itu, ia juga melakukan pemenuhan alat kesehatan sebagai sarana prasarana untuk pelayanan ibu bersalin dan bayi baru lahir.
Quiz
Mini Survey
Mini Survey
Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉
Menurut saya,
Menurut saya,
Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉
Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉
Baca berita seputar pilkada daerah
Mau baca berita yang lebih relevan? Cek GenZ Memilih!
Mau baca berita yang lebih relevan?
Cek GenZ Memilih!
Mau baca berita yang lebih relevan? Cek GenZ Memilih!
Lihat
Menemukan konten yang kurang sesuai?
Jika kamu menemukan konten kami yang dirasa kurang sesuai, baik dari segi sumber informasi atau data, masukkan feedbackmu melalui feedback form atau kontak kami melalui contact@bijakdemokrasi.id, agar kami dapat mereview ulang.